Sorot Mata Orang Tertindas


Pilu hati Markesot, negeri perasaannya dan terguncang jiwanya, menyaksikan keadaan diri orang-orang yang menjadi korban dari peraturan yang dituhankan –Surat Keputusan yang dimutlakkan, yang dianggap tidak mungkin salah. Ribuan orang lain yang telah menerima keputusan peraturan itu,hidup di bekupon-bekupon kecil, berderet seperti kampong pengungsi, di bawah terik matahari, panas dan kering tanpa pepohonan dan kehijauan. Mereka mengalami perubahan hidup yang radikal. Tingkat ekonomi mereka yang menurun, lingkungan sosial mereka menjadi aneh, serta terasa betapa banyak segi-segi kebudayaan hidup berabad-abat lamanya di dusun-dusun lama mereka, kini lenyap tanpa tahu bagaimana membangunnya kembali. Mereka menerima itu semua, mungkin karena tingkat kepasrahan yang tak terbatas kepada Allah. Atau barang kali karena memang tak ada pilihan lain kecuali ketakutan dan kepatuhan kepada orang yang entah bagaimana kok berkuasa atas mereka. Orang-orang yang menurut segala nilai sesungguhnya harus melindungi dan mensejahterakan mereka.
Sebagian dari mereka merasa terancam pula: jangan-jangan mematuhi kezaliman sebenarnya ada dosa tersendiri. Apa jawab mereka kelak di akhirat tat kala Malaikat bertanya: “Kenapa kalian tidak mencoba menyatukan diri memperjuangkan hak-hak kalian? Bukankah kalau kalian bersatu, tak akan ada satu kekuatan pun yang akan sanggup mengalahkan kalian? Apakah kalian takut akan jatuh korban? Bukankah seluruh keadaan kalian kini pun adalah korban yang tak kecil artinya? ” Adapun mereka yang menolak kezaliman, terjepit diantara kedua kenyataan. Di satu pihak mereka wajib dan berhak mempertahankan apa yang Allah telah mengizinkan dan bahkan mewajibkan untuk mempertahankan. Tapi dilain pihak pertahanan yang mereka lakukan sama artinya dengan perlawanan terhadap peraturan yang diterjemahkan sebagai perwujudan nilai keadilan. Namun mereka memilih Allah yang sejati dan menolak tuhan palsu. Fir’aun yang menuhankan dirinya, yang memutlakkan segala keputusannya. Untuk itu mereka sedia hidup sengsara, bertahan hidup digenangan air kesengsaraan, diteror melalui berbagai cara oleh pihak yang menguasai mereka,serta diberi cap”pembangkang” yang busuk dan diumumkan diseluruh negeri.
Bayangkanlah, bukan hanya bagaiman mereka tetap mencoba sanggup bertahan memenuhi kebutuhan perut anak-anak dan istri mereka, tapi juga bayangkanlah bagaimana dahsyat pergolakan yang berlangsung didalam jiwa mereka. Rasa terhina, dendam, kemarahan, juga kenekatan, pilu hati Markesot, Negeri dan sakit perasaannya, orang-orang tertindas itu menjadi sedemikian oversensitive dan overdefensif, sorot mata mereka mengandung semesta niai yang tak bisa diterjemahkan: jangan sekali-sekali menatapnya, hanya ada dua pihak dimuka bumi ini bagi mereka: ”Bapak yang kuasa” sang penindas, dan mereka sendiri, jangan ada seorangpun yang mengungkapkan kepada mereka apa pun saja kata-kata, pakaian, cara pendekatan, idiom-idiom yang bisa mereka indikasikan sebagai “Bapak yang kuasa”. Sahabat Markesot yang mencoba menjembatani kepentingan mereka dengan kemauan pemerintah, melakukan 1-2 kesalahan pendekatan: Bahasanya terlalu rasional, pola berfikirnya terlalu birokratis, serta kurang mempertimbangkan dimensi cultural dan psikologis dibalik setiap ungkapan bahasanya. Ketika si sahabat itu ditengah peradapan seru, mencoba mendinginkan suasana dengan berkata: “Bapak-bapak coba mari kita pikirkan kembali semuanya, agar bisa lebih jernih…. ”
Spontan seorang diantara mereka menukas: Kalau soal mikir pak, kami sudah hampir enam tahun ini melakukannya terus-menerus, kami sudah capek berfikir, dan memang sudah tidak ada gunanya lagi, yang penting sekarang bapak mau mengabulkan atau tidak…! Sambil membuka kopiahnya dan memperlihat botak ditengah atas kepalanya, tertamparlah si sahabat. Tapi kemudian ia menambah kesalahannya, ia menyahut: “Barang kali pak Markesot bisa member kita wawasan……” spontan pula salah seorang dari kaum tertindas itu dengan suara keras memotong: “Kalau wawasan, ceramah, pengajian, khutbah, atau nasihat, kami sudah bosan....”

***
Kaum tersisih “Markesot bertutur “
(EMHA AINUM NADJIB)
komentar (5) | | Read More...
 
Copyright © 2011. HMI Tulang Bawang . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger