Merajut kembali otonomi daerah, Berbagai konflik agraria yang terjadi sebagian daerah di tanah air Indonesia, khususnya diwilayah Propinsi Lampung dan semenanjung pulau Sumatera pada umumnya, merupakan koreksi total terhadap kinerja aparatur Pemerintah mulai dari pusat hingga daerah yang terkesan lamban dalam menyelesaikan segala bentuk persoalan agraria secara mendasar, sehingga hal ini terkesan seakan-akan aparatur pemerintah melindungi para kapitalis dan imperialis yang telah menggerogoti kekayaan alam Indonesia.
Oleh karena itu, perlu kita kembali mempertanyakan desain otonomi daerah yang diberikan pusat secara luas terhadap suatu daerah otonom, sebab pemberian otonomi daerah selain ditujukan guna mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, maka pemberian otonomi daerah juga ditujukan sebagai langkah pemuliaan identitas budaya bangsa dimasing-masing daerah yang tersebar diseluruh penjuru tanah air Indonesia.
Otonomi daerah yang dijalankan saat ini lebih cenderung menguntungkan pihak-pihak birokrasi pemerintah daerah, maupun pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan proyek pembangunan infrastruktur daerah yang sama sekali terkesan minim dalam kualitas pembangunannya. Selain itu pula pemberian otonomi daerah tidak memberikan ruang gerak kepada masyarakat hukum adat guna turut campur dalam menjalankan roda pemerintahan daerah otonom. Untuk apa kita menggaungkan demokrasi dinegeri ini jika ruh hukum adat tidak dijalankan sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3)UUD 1945.
Sederhananya apabila pemberian otonomi daerah tidak melibatkan masyarakat hukum adat dalam menjalankan roda pemerintahan daerah otonom, maka pemberian otonomi daerah itu hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu atau bahkan menimbulkan dampak korupsi dana APBD maupun dana APBN, selain itu pula pemberian otonomi daerah terkesan semakin memberikan peluang yang luas untuk tumbuh suburnya kapitalisme dan imperialisme dibumi yang bersendikan Pancasila, terutama dalam hal penguasaan atas pertanahan yang banyak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan dan tentunya telah banyak memakan korban jiwa maupun korban harta benda. Sejatinya apabila demokrasi sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tidak berjalan secara efektif dan efisien, maka hal ini akan membahayakan otonomi daerah itu sendiri.
Terkait dengan konflik agraria di daerah Lampung khususnya diwilayah eks Kabupaten Tulang Bawang lebih disebabkan karena para Punyimbang Adat Megou Pak tidak mempunyai aturan hukum yang jelas dalam membina hukum adatnya yang sejalan dengan gerak laju pembangunan di era globalisasi, otonomi daerah dan supremasi hukum. Hal ini menyebabkan masyarakat hukum adat Megou Pak Tulang Bawang (Marga Buay Bulan, Marga Suay Umpu, Marga Tegamo’an dan Marga Aji) hingga saat ini tetap menggunakan produk hukum adat Megou Pak Tulang Bawang 1910/1913, yang sejatinya tidak senafas dengan Pancasila dan UUD 1945.
Bahkan sejak hapusnya pemerintahan Marga di Lampung (esk Propinsi Sumatera Selatan) yang diganti menjadi pemerintahan Negeri 1952, hingga lahirnya UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, atau bahkan hingga lahirnya era otonomi daerah (desentralisasi) melalui UU Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana yang telah di ubah kembali melalui UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masyarakat hukum adat tetap tidak memiliki peran aktif dalam perjalanan roda pemerintahan daerah otonom. Demokrasi yang digaungkan dinegeri ini hanya menjadikan masyarakat hukum adat sebagai kayu bakar untuk menghidupkan bara api otonomi daerah, dan bahkan sama sekali tidak aspiratif maupun simpatik terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Padahal secara konstitusional, tata hukum Indonesia tetap mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat melalui Pasal 18B UUD 1945 berikut penjelasannya yang tetap menuangkan adanya kata “Marga”.
Menyimak paparan dalam bukunya Prof.H.Hilman Hadikusuma, SH (Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, hal : 126-127), bahwa pada tahun 1857 Pemerintah Belanda menetapkan batas-batas Marga tritorial dengan menunjuk atau memilih Kepala Marga (Pasirah) masing-masing berdasarkan Peraturan Marga Regement tahun 1939, dalam rangka pelaksanaan Inlandsche Gemente Ordonnantie Buitengwesten (IGOB) S. 1938 No.490 yang ditetapkan Residen Lampung tanggal 21 Juli 1939 No.536. Menerurut peraturan tersebut Kepala Marga melaksanakan pemerintahan Marganya di dampingi Dewan Marga yang anggotanya terdiri dari para Punyimbang Marga. Sedangkan masing-masing Marga merupakan kesatuan Kampung (Tiyuh) dan bagian Kampung atau Suku termasuk Umbulan yang terletak di daerah peladangan dalam lingkungan hak ulayat tanah Marga bersangkutan.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, tentunya sudah cukup jelas bahwa sistem Pemerintahan Marga di Lampung telah dijalankan secara sistematis dan teroganisir dengan baik. Hal ini tentunya diperkuat dengan adanya tiga (3) warna payung agung sebagai lambang pembagian sistem kekuasaan pemerintahan adat yang demokratis, yaitu kekuasaan Pemerintahan Marga di lambangkan dengan Payung Agung berwarna Putih dengan nilai adatnya berjumlah 24, untuk kekuasaan pemerintahan Tiyuh dilambangkan dengan Payung Agung berwarna Kuning dengan nilai adat berjumlah 12. Sedangkan untuk kekuasaan pemerintahan Suku dilambangkan dengan Payung Agung berwarna Merah, dengan nilai adatnya berjumlah 6.
Atas dasar penjelasan tentang pemerintahan masyarakat hukum adat Lampung tersebut diatas, hendaknya pemerintah pusat kembali meninjau ulang UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, atau bahkan memberikan pengakuan secara hukum atas hak istimewa terhadap daerah Lampung melalui payung hukum Pasal 18B UUD 1945 berikut penjelasannya yang tetap menuangkan antara lain adanya kata “MARGA”.
Hal ini tentunya sebagai konsekwensi Pemerintah Pusat dalam menjalankan roda pemerintahan berdasarkan UUD 1945, sebagai langkah pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat guna dapat terlibat secara langsung dalam pengelolaan, penataan dan pengaturan roda pemerintahan daerah, sehingga kepentingan masyarakat hukum adat dapat terakomodir sedemikian rupa dalam mempertahankan dan bahkan menonjolkan identitas budaya-nya yang semakin terhimpit oleh budaya masyarakat transmigrasi maupun budaya asing yang terkesan kebarat-baratan, sehingga menimbulkan dampak kepudaran terhadap kearifan budaya lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan estetika.
Senada dengan terjadinya konflik agraria di Lampung, khususnya di wilayah esk Kabupaten Tulang Bawang, tentunya sudah cukup jelas disebabkan karena tidak adanya aturan adat yang diharapkan mampu melakukan penataan terhadap keberadaan hak ulayat tanah marga masing-masing adat kebuayan, sehingga hal ini menimbulkan persengketaan yang berkepanjangan antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan yang tentunya telah memakan korban jiwa yang tidak sebanding dengan nilai tanah yang dipersengketakan itu. Padahal dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 Pasal 5 tentunya sudah cukup jelas mengatur tentang penyelesaian persengketaan agraria melalui hukum adat.
Namun yang menjadi persoalannya adalah hukum adat mana yang dapat dijadikan pedoman oleh Pemerintah maupun masyarakat dalam menyelesaikan persengketaan agraria?? Masalah ini tentunya memerlukan perhatian, pengkajian dan penelitian oleh segala pihak baik itu para Punyimbang Adat maupun Pemerintah, terkhusus para politisi maupun para praktisi hukum yang berasal dari daerah masing-masing, terutama para calon sarjana hukum yang sedang mengenyam bangku pendidikan.
Namun yang menjadi persoalannya adalah hukum adat mana yang dapat dijadikan pedoman oleh Pemerintah maupun masyarakat dalam menyelesaikan persengketaan agraria?? Masalah ini tentunya memerlukan perhatian, pengkajian dan penelitian oleh segala pihak baik itu para Punyimbang Adat maupun Pemerintah, terkhusus para politisi maupun para praktisi hukum yang berasal dari daerah masing-masing, terutama para calon sarjana hukum yang sedang mengenyam bangku pendidikan.
Oleh karena itu mata kulyah hukum adat perlu diperkuat dalam setiap perguruan tinggi ilmu hukum di seluruh penjuru tanah air Indonesia, sebab era globalisasi saat ini, peran cultur daerah jelas harus ditonjolkan, karena ia bukan hanya sebagai sarana pelestarian adat dan budaya semata, akan tetapi lebih dari itu, kiranya hukum adat diharapkan mampu membangun manusia Indonesia seutuhnya baik dari segi sosial, politik, moral, etika dan akhlak dalam kerangka berbangsa dan bernegara dengan tetap berpedoman pada empat (4) pilar kebangsaan. Dan kembali pada cultur kearifan lokal bukan berarti kita berfikir primordialisme sempit, akan tetapi, lebih sebagai langkah penemuan jati diri dan kepribadian bangsa kita sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Sejalan dengan pemaparan tersebut diatas, kiranya rajutan otonomi daerah dapat memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang memadai, guna mengangkat sumber pendapatan asli daerah secara maksimal, sehingga diharapkan daerah otonom tidak harus mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang bersumber dari pemerintah pusat.
Selain itu, hendaknya otonom daerah secara sungguh-sungguh dapat memperhatikan tentang pendapatan asli masyarakat, agar tidak terjadi pembiayaan gaji pegawai maupun biaya pembangunan daerah yang semakin membesarkan beban pajak rakyat. Begitu pula kiranya otonomi daerah dapat dijadikan cambuk dalam rangka memperkokoh budaya demokrasi ditingkat Kampung atau pun Desa, sehingga diharapkan ekonomi masyarakat bawah dapat meningkat secara umum, tidak hanya mengolah sektor pertanian dan industri, tapi juga diharapkan mampu mengolah limbah menuai laba, mengingat sumber daya alam di daratan kian menipis, sedangkan limbah industri belum dikelola secara maksimal, yang terjadi malahan pencemaran terhadap lingkungan.
Demikian, mengutip bahasa Drs.Mohammad Hatta dalam bukunya “Demokrasi Kita”, bahwa demokrasi desa boleh ditindas hidupnya oleh kekuasaan feodal yang meliputinya dari atas, tetapi tidak dapat dilenyapkan. Dan semoga catatan ini dapat dijadikan bahan acuan oleh segala pihak, guna merajut dan menata kembali sistem tata hukum Indonesia. Meminjam konsep seorang ahli hukum, dimana pernah mengungkapkan bahwa ”tidak ada tata hukum yang datang dengan sendirinya menata suatu negeri, akan tetapi untuk menata suatu negeri, diperlukan penataan hukum lebih dahulu”.
Sebagai penutup kata, memang sudah menjadi kodratnya air sungai, apabila hulunya telah tercemar, maka mustahil hilirnya tidak.
Oleh : Satria Ali
Mantan Sekjen HMI Cabang Tulang Bawang 2006